Kamis, 13 Agustus 2015

Langit Tanpa Senja

Senjaku telah hilang, ditelan kegelapan dalam keheningan. Aku sendirian. Dalam gelap, aku merangkak, mencari seberkas sinar harapan. Senja tak lagi datang, tak lagi mendampingiku meniti setitik asa.

Tanpa senja aku gamang. Duduk mendekap lututku di atas pasir putih tempat senja yang dulu menyapa. Senjaku tak seindah dulu. Merahnya memudar, jingganya menghilang. Senja tak kan datang.

"Apa yang kamu tunggu, Linn?" sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Senja."

"Untuk apa? Dia tak akan datang, Linn. Hari ini mendung, sebentar lagi hujan, pulanglah. Senjamu tidak akan datang."

"Tapi aku merindukannya, Bu," jawabku.

"Pulanglah, Nak. Senjamu belum datang, mungkin esok, atau lusa, sabar, senja tahu kapan ia akan datang."

"Iya, Bu."

Aku beranjak pergi.
Meninggalkan langit tanpa senja lagi. Meninggalkan alam yang mulai diselimuti gelap. Aku melangkah dengan jiwa gamang. Aku meniti langkah dengan hati mengambang. Menanti senja tak kunjung tiba. Gerimis pun mulai menyapa, ditemani sapuan sang bayu yang memainkan anak rambutku yang mulai basah. Kupercepat jalanku, tak kupedulikan kerikil kecil yang mencoba menggangguku.

"Pulanglah, Nak," terngiang kembali kata-kata ibu.

"Aku pulang, Bu. Sekarang."

Aku berlari, mengejar waktu. Sesekali terjatuh di tepi jalan. Aku harus pulang. Mungkin hari ini senja tidak datang. Tapi esok? Masih ada sejuta harapan. Menikmati senja bersama seribu asa.

Taoyuan, 13 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar