Rabu, 23 Desember 2015

Hujan Itu

Satu hal yang aku harus belajar dari hujan. Ia jatuh, tanpa meminta, ia jatuh tanpa mengeluh. Di mana pun ia terjatuh? Ia akan pasrah dan ikhlas. Walaupun kadang terjatuh dalam parit, hutan, laut bahkan di atas batu yang keras. Terhantam dari ketinggian yang entah. Dia tetap turun, lagi dan lagi. Dan tetap tegar, anggun dan indah. Walaupun terkadang pelangi ingkar janji pada hujan. Tapi hujan tak pernah enggan untuk turun dan turun.

Aku melangkah lagi di antara jatuhnya hujan dalam diam. Dulu aku takut dengan hujan, dan kamu tahu itu. Sempat kamu tertawa tentang pengakuanku yang takut pada hujan, pada petir dan pada gelap. Kamu selalu menyuruhku masuk selimut, sembunyi dan tidur agar lelap.

Untukmu yang pernah kedinginan di stasiun kota demi menunggu pagi, menunggu menit kita bersua kembali. Senyum hello kitty itu masih ada kini, menjinjing seikat harap dan asa dulu, yang berjalan di atas nama janji. Melangkah di atas nama ikrar. Kamu tahu apa itu janji? Hutang, bukan? Oh bukan. Biarlah orang lain bilang janji adalah hutang, tapi bagiku, janji adalah barisan kata yang terangkai setengah sadar.

Untukmu yang pernah berlari di antara gelap dan hujan, salah jalan dan kedinginan hanya untuk meminta maaf padaku. Atas setitik salahmu dulu. Peluh keringat dan air hujan menyatu, saat itu aku melihat seribu malaikat bersamamu. Kau istimewa. Dan nyata.

Untukmu yang rela jadi santapan nyamuk malam. Terbaring di antara gelap rumput taman. Langit kau bilang rumah, dan lampu malam kau bilang kunang-kunang.

Tahukah kau malam ....
Saat ini dia dalam garis kegamangan. Antara masa lalu dan masa depan. Wahai malam ..., sapukan embusan bayu pada jiwanya yang layu. Agar ia bangkit dari rasa sakit. Agar dia tersadar yang telah meragukan Allah Yang Maha Besar.

Hujan ....
Bukan hal yang aku takutkan lagi. Percayalah, aku tidak takut. Hujan kini adalah teman. Petir adalah kawan, dan gelap adalah sahabat ketika aku akan terlelap.

Untukmu yang selalu bertanya kabar. Yang khawatir ketika datang petir. Nikmatilah hujan, seperti dulu. Tak usah kau takut akan basah, karena setelah hujan berlalu, kau akan paham apa arti kilatan petir malam itu.

Taoyuan, 23 Desember 2015

Minggu, 22 November 2015

Mimpi

Setiap manusia yang lahir, pasti punya mimpi, cita-cita, harapan dan impian.
Tergantung diri sendiri, mau diolah seperti apa mimpi itu.
Ada yang berjuang mati-matian, tak kenal putus asa walaupun sakit merintih, pedih.
Ada juga yang berjalan pelan, penuh kepastian dan percaya akan sebuah proses.
Tapi ada juga yang diam, berpangku tangan, menyerah pada keadaan dan selalu merasa jika mimpi hanya sebatas angan.
Dan aku?
Mungkin akan mempunyai pilihan yang terakhir. Bukan aku munafik atau licik.
Karena akan ada masa di mana aku telah lelah, tertatih untuk melangkah. Sementara akan ada seseorang yang puas dengan keadaan ini.

Aku pernah dibawa terbang.
Ketika sayap-sayapku mulai aku kepakkan, mulai mempunyai seberkas harap. Badai itu datang, mendorong kuat-kuat paruhku dan aku terjatuh. Jatuh dan jatuh. Sayap ini patah. Kaki ini terkilir, perih. Satu kali, dua kali bahkan sembilan puluh delapan kali, aku berusaha bangkit. Tapi aku gagal. Tidak ada yang membantuku, mereka pergi terbang dengan anggun. Tak acuh.
Aku bertepuk tangan dengan airmataku, aku bersorak dengan pedihku. Mereka adalah yang terhebat.

Aku masih terperangkap sepi. Terperangkap dalam tempat di mana sayapku gagal aku gerakkan. Aku tidak mau terbang lagi. Aku takut ketinggian. Aku trauma dengan ketinggian. Aku juga tidak butuh belas kasihan dari teman, aku juga tidak butuh rasa simpati dari kawan. Dalam sepiku aku menikmati, dalam gelapku aku berusaha memaksa bibirku tersenyum, walaupun tidak ada yang melihat. Biarkan para malaikat yang melihat.
Entah sampai kapan, berpangku tangan dalam rasa tak berdaya ini.

Taiwan, 22 November 2015

Rabu, 30 September 2015

Ayah

Dulu, ayah selalu mengajariku menikmati secangkir kopi pahit. Walaupun aku menolak, ayah tetap menyuruhku menelan, menikmati.
Padahal ayah tahu, aku suka teh manis hangat buatan ibu.

"Kenapa harus kopi pahit, Yah?"

"Karena ada setetes kenikmatan di sana."

"Nikmat? Nikmat apa? Pahit."

"Karena kamu harus belajar, tidak semua hari ada teh manis milik ibu. Akan ada hari di mana kamu harus merasakan sensasi hebat dari secangkir kopi pahit."

Dulu aku tidak mengerti.
Sekarang aku paham, jika tidak semua hari adalah manis. Akan ada hari di mana aku harus menelan kepahitan. Tapi tidak aku hindari, tidak pula aku tinggalkan.
Karena ayah, mengajariku menikmati setiap tetes rasa pahit itu. Dan kamu? Adalah secangkir kopi pahit, yang tak mungkin aku tinggalkan.

Kini, manisnya teh hangat milik ibu, telah tercampur rata dengan kopi pahit buatan ayah. Mendarah daging dalam tubuhku dan menjadikanku wanita kuat seperti ibu. Ya, kuat.
Ibu selalu bilang, agar aku menjadi wanita hebat.

"Mengalah tidak harus menjadi murahan, Nak. Tapi mengalah demi kebaikan, saat kamu tersakiti? Saat kamu disakiti? Cukup diam dan berdoalah. Semoga sakit itu nanti menjadi berkah."

"Tapi, Bu. Kenapa orang mengalah selalu sakit hati?"

"Karena Allah sayang pada hamba-Nya yang selalu sabar dan mengalah. Pun jika kamu merasa sakit. Nikmatilah, dari sakit yang kamu rasa, kamu akan tumbuh menjadi wanita hebat suatu saat nanti. Bukankah pahitnya kopi telah kau rasakan dari kamu kecil? Sekarang tinggal kamu yang harus menggali rasa sakit itu menjadi bahagia. Ingat kata ibu, tidak ada yang sia-sia di dunia ini."

"Aku akan berusaha, Bu. Doa ibu yang kuminta."

"Dan ingat, tidak ada kata mustahil, selama nafas, jiwa dan ragamu masih menyatu."

Aku menggangguk penuh pasti. Dan akan aku telusuri, aku jalani. Setiap jengkal jalan hidup ini. Entah akan seperti kopi pahit milik ayah atau segelas teh manis hangat milik ibu. Aku siap menelan dari segala rasa itu. Dan itu pun bersamamu ....

Jalan masih panjang, hari masih pagi. Sambutlah mentari itu lewat celah-celah dinding hatimu. Kau, aku dan semua, berhak menikmati. Masa depan milik orang-orang yang punya mimpi. Raihlah, aku di sampingmu berjalan bersamamu.

Taoyuan, 30 September 2015

Kamis, 10 September 2015

Jalan Pulang

Jika aku diijinkan sebentar saja untuk berubah wujud? Aku akan memilih menjadi seekor burung hantu. Ya, burung hantu.
Aku tenang dalam kegelapan, aku damai dalam sepi, sendiri. Hanya deretan buku-buku usang yang memaksaku tersenyum setiap menit, bahkan detik. Tersenyum sendiri. Gila? Ya, hampir.

Aku gila oleh bayangan, gila oleh waktu. Aku lupa waktu senja datang, hingga ketika aku memotretnya, senja beranjak pergi.

"Kamu terlalu malam, Ru. Senja telah berpamitan, pulang," kata ayah dengan nada datar.

"Pulang? Ke mana, Yah?"

"Ke tempat di mana seharusnya pulang."

Aku mengernyitkan dahi.
Kupandang ayah lekat-lekat. Ayah diam, curang. Tidak menjelaskan apa maksudnya.

"Bukankah kamu sering berkhayal, jika senja di sana kau ibaratkan cinta. Nah, tadi ayah bilang, senja pulang, ke tempat di mana dia harus pulang. Pun dengan cinta, Ru, cinta akan pulang di mana tempat dia pulang, karena cinta akan tetap tahu jalan pulang," ucap ayah menjelaskan sambil mengacak anak rambutku dan pergi.

Aku terlambat.
Terlambat memeluk senja. Menikmati dan memotretnya. Apakah aku harus selalu menjadi burung hantu? Agar aku tahu di mana senja kini? Agar aku tahu betapa nikmatnya dunia alam dalam kegelapan.

Tidak.
Aku tetap aku, tidak akan aku menjadi seekor burung.
Biarpun aku harus kehilangan senja? Tak mengapa. Bukankah ayah selalu bilang jika senja akan pulang ke tempat di mana ia akan pulang.

Senja, aku rindu.
Ada rindu di sini, yang menguat dalam doa malam.

Taoyuan, 10 September 2015

Minggu, 06 September 2015

Luka

Senyum, terkadang adalah topeng kehidupan yang nyata. Terkadang hanya polesan jiwa yang berduka. Tetap tegar di atas penderitaan hidup dan tetap anggun menjalani kehidupan.
Senyum, terkadang adalah tipuan mata. Hanya hati yang peka yang mampu meraba sebuah senyuman. Nyata atau rekayasa.

Hati mungkin tidak pernah berbohong, mungkin. Tapi senyum dan tawa adalah cara sebagian manusia mempertahankan diri dari dekapan lara, luka, kecewa, sakit hati dan sejuta rasa. Tidak semua senyum dan tawa adalah gambaran bahagia. Tidak semua tangisan adalah lara. Terkadang dalam senyum ada airmata, dalam tangisan ada bahagia.

Tetap tersenyum apapun yang terjadi. Berteriaklah pada dunia, jika kita adalah wanita tegar dari segala duka yang datang. Tetap tersenyum, walaupun kadang luka datang menyapa, sakit datang menghimpit. Nikmatilah hidup sesuai porsi masing-masing.

Taoyuan, 06 September 2015




Jumat, 28 Agustus 2015

Diam

Jika manusia selalu merasa kesepian saat sedang sendiri? Tolong katakan padaku, apakah keramaian selalu membahagiakanmu?

Aku memang sendiri, menepi di perut bumi. Sendiri dalam keramaian. Merangkak sendiri, berdiam diri penuh kesibukan walaupun kadang sepi itu datang. Aku memang sendiri, tapi aku tidak sendirian. Aku bukan wanita manja yang harus selalu berdampingan dengan orang lain. Aku bukan benalu yang harus hidup menumpang kasih sayang dari orang lain.

Aku terbiasa sendirian. Pun sebelum kau datang. Sebelum dia hadir. Aku tetap aku. Aku memang sendiri, bermain dengan sepi dan sejuta mimpi. Aku memang sendiri, tapi aku jauh dari kata kesepian.
Karena dalam keramaian aku kesepian dan itu selalu menyiksa. Tapi dalam sepi, aku ramai penuh kebahagiaan.

Bahagia bukan soal di mana kamu berada. Tapi tentang bagaimana kamu bersyukur pada apa yang telah ada.
Diam, adalah cara terbaik melindungi diri. Diam adalah jawaban terbaik ketika kau dikejar hal yang tak sepantasnya kamu jelaskan. Diam adalah jalan akhir ketika semua orang menganggapmu sakit jiwa. Dan diam adalah cara kita membalas caci maki orang lain.

Pastikan dalam diam mulut kita, raga kita dan otak kita bergerak.

Taoyuan, 28 Agustus 2015

Selasa, 25 Agustus 2015

Kaca Bukan Cermin

Kutemani kau sekarang, berjalan berdampingan. Kudukung semua jalanmu selama masih dalam kebenaran. Doa dan semangat selalu kubisikkan agar kau jadi lelaki mapan.

Jika hidupmu sudah tentram, nyaman dan mapan. Aku akan pergi meninggalkan. Bukan tanpa alasan. Karena aku yakin cermin dan kaca itu beda jika diartikan. Antara bayangan dan pantulan pun juga berbeda. Kau hidup dalam cermin dan aku dalam kaca. Tapi semua adalah bias, asa dan kandas.

Kini kita adalah butiran bening di atas kaca. Jernih, terang, indah.

Kusimpan rindu dalam tiap butir tasbih cinta. Kukemasi sayang dalam doa malam. Sampai saat itu tiba, kita menganggukkan kepala dan bilang selamat jalan cinta. Tiada dendam dan benci. Karena kita adalah seuntai tali yang telah terpatri. Dan tak akan pernah putus karena rasa kita adalah tulus.

Taoyuan, 26 Agustus 2015

Minggu, 23 Agustus 2015

Senja Telah Pulang

Aku di sini. Tanpamu.
Memilih diam dan memeluk erat potretmu. Ditemani senja yang mulai ditelan petang. Mulai berubah menjadi hitam, kelam dan gelap. Di sini aku tenang, potretmu nampak menyunggingkan senyum penuh keikhlasan. Kau adalah pengganti senja yang kelam. Bercahaya dan membaur menyatu dengan alam. Potretmu adalah simbol alam.

Aku ingin seperti senja, biarpun hadirku hanya sekejab tapi aku dirindukan banyak orang.

"Apakah kau juga rindu?"

Aku tidak perlu jawaban. Tatapan matamu yang teduh cukup menggambarkan. Bukankah segala kejujuran dan kebohongan ada pada pandangan?

"Kata siapa?"

"Kata hati."

Kita adalah alam, belajar menyatukan dua perbedaan. Merangkai nada demi nada hingga kita punya sebuah melody. Yang akan kita dengungkan, untuk alam, untuk dunia. Kita teriakkan pada alam. Pada bumi dan langit, jika perbedaan itu indah. Ibarat sebuah piano dan nada-nadanya. Ia tidak akan berirama jika hanya punya satu nada, dan ia tidak akan dinamakan piano jika cuma warna hitam saja.

Hitam dan putihnya piano adalah gambaran, satuan perbedaan yang menghasilkan irama. Kita adalah melody.

Senja telah pergi, meninggalkan hitamnya mendung yang menggantung di ujung sana. Seperti kamu.

Kulipat kembali potretmu, kubawa dalam tanjakan jalan hidupku, dan terjalnya perjalanan. Kau adalah putih dalam hitamnya pianoku. Kau adalah senja yang selalu kunanti setiap petang datang.

Senja telah pulang.

Taoyuan, 23 Agustus 2015

Kamis, 20 Agustus 2015

Ketika Aku Pergi

Cemas, khawatir adalah fitrah manusia. Wajar, bukan?
Takut. Adalah benang merah yang menarik alur cerita yang telah aku rengkuh. Aku pernah menaruh harapan besar pada manusia, tapi akhirnya kecewa yang kudapati, sakit, perih dan menahan luka.

Aku adalah pohon yang rapuh, berdiri kokoh di antara gemerlap dunia, menopang segala rasa yang mampir menyapa jiwa. Aku tidak sendirian. Ada sejuta asa yang kadang mendekapku erat dari penjuru dunia, aku dan sisi lain.

Harap, asa kadang hanya hadir menyapa jiwa. Mencubit jiwa yang kadang merapuh. Menyentuh harap yang mulai mengepul berubah jadi jelaga. Terbang tinggi diembus bayu dan lenyap.

Aku adalah kunang-kunang malam tanpa cahaya. Gelap, hitam pekat tak tahu arah pulang. Diam dan berteduh di bawah pohon cemara, menunggu pagi, menunggumu datang membawa sepercik cahaya. Jangan bawa aku pulang, jangan bawa aku pergi ketika sayapku belum sembuh, ketika sayapku belum ada cahaya. Aku tak tahu, di mana aku kini.

Malam belum menjemput fajar, malam belum berakhir. Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa menunggumu lama. Aku harus pulang, ke alamku, di tempat di mana dulu kau menemuiku pertama kali. Ya, di lereng sana, di balik gunung penuh hutan belantara, di antara duri-duri alam aku menggantungkan diri, bertahan hidup. Sebelum kau datang.

Aku harus pergi, sayapku terluka, cahaya dalam sayapku tidak bersinar lagi. Aku bukan kunang-kunang. Aku hanya mirip seekor lalat yang terhempas badai. Mengenaskan.

Taoyuan, 21 Agustus 2015

Kamis, 13 Agustus 2015

Langit Tanpa Senja

Senjaku telah hilang, ditelan kegelapan dalam keheningan. Aku sendirian. Dalam gelap, aku merangkak, mencari seberkas sinar harapan. Senja tak lagi datang, tak lagi mendampingiku meniti setitik asa.

Tanpa senja aku gamang. Duduk mendekap lututku di atas pasir putih tempat senja yang dulu menyapa. Senjaku tak seindah dulu. Merahnya memudar, jingganya menghilang. Senja tak kan datang.

"Apa yang kamu tunggu, Linn?" sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Senja."

"Untuk apa? Dia tak akan datang, Linn. Hari ini mendung, sebentar lagi hujan, pulanglah. Senjamu tidak akan datang."

"Tapi aku merindukannya, Bu," jawabku.

"Pulanglah, Nak. Senjamu belum datang, mungkin esok, atau lusa, sabar, senja tahu kapan ia akan datang."

"Iya, Bu."

Aku beranjak pergi.
Meninggalkan langit tanpa senja lagi. Meninggalkan alam yang mulai diselimuti gelap. Aku melangkah dengan jiwa gamang. Aku meniti langkah dengan hati mengambang. Menanti senja tak kunjung tiba. Gerimis pun mulai menyapa, ditemani sapuan sang bayu yang memainkan anak rambutku yang mulai basah. Kupercepat jalanku, tak kupedulikan kerikil kecil yang mencoba menggangguku.

"Pulanglah, Nak," terngiang kembali kata-kata ibu.

"Aku pulang, Bu. Sekarang."

Aku berlari, mengejar waktu. Sesekali terjatuh di tepi jalan. Aku harus pulang. Mungkin hari ini senja tidak datang. Tapi esok? Masih ada sejuta harapan. Menikmati senja bersama seribu asa.

Taoyuan, 13 Agustus 2015

Jumat, 07 Agustus 2015

Aku Dan Aku

Dalam hidup tidak ada yang namanya kesempurnaan. Tidak akan ada manusia benar dalam segala hal. Yang benar adalah berusaha jadi orang dalam jalan kebenaran. Sebaik apapun kita, pembenci itu ada, dan itu pasti. Seburuk apapun kita, orang yang suka tetap ada walaupun cuma satu, dua orang saja.

Aku adalah aku, tetap menjadi diri sendiri. Baik dan buruknya aku hanya Dia yang tahu. Manusia hanya tahu aku, tanpa tahu siapa diriku. Jika semua orang menginginkan menjadi rembulan yang memancarkan sinar ke seluruh pelosok dunia? Maka aku akan tetap ingin menjadi lilin dalam keredupan. Kecil, sederhana tapi tetap mampu menyinari lorong-lorong kecil dalam ruangan tertutup. Aku adalah sebatang lilin dalam keremangan.

Hidup adalah perjalanan menuju keabadian. Ya, perjalanan. Dalam perjalanan tidak mungkin ada yang namanya berjalan mulus tanpa aral melintang. Bukankah kita berjalan pun terkadang tersandung? Pun dalam hidup. Tersandung masalah itu pasti. Asal kita tahu, masalah datang adalah bukti manusia masih bernyawa, dan bukti jika Allah itu peduli. Jika kita enggan tersandung masalah. Mati saja. Itu pun kalau Dia mengijinkan.

"Kak, bahagia itu apa?" Bima bertanya dengan polosnya.

Aku tahu itu jebakan, aku tahu dia lelaki cerdas. Atau mungkin dia ingin tahu cara pandangku memaknai arti bahagia? Entahlah.

"Asal ayah dan ibu bahagia, di sana sumber bahagiaku juga," jawabku dengan senyum.

Bima tersenyum.

Aku memalingkan wajahku, menatap lekat-lekat rembulan yang masih malu-malu menampakkan wujudnya. Rembulan yang indah.

"Kenapa Kak Mawar ingin seperti lilin? Tidak ingin seperti rembulan?"

Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan Bima.

"Rembulan memang indah, Bima. Besar, bersinar, terang dan menakjubkan. Banyak orang bahkan hampir seluruh penduduk bumi pun akan bilang rembulan itu indah, semua orang memuja dan memuji rembulan, kan? Tapi aku tidak ingin. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak ingin dipuja dan dipuji, aku hanya ingin menjadi sebatang lilin yang akan menyinari lorong-lorong kecil di manapun itu. Selokan, belakang pintu rumah, bahkan bawah kolong ranjang, lilin pasti berguna setelah lampu. Tidak mungkin kamu membawa rembulan ke rumahmu untuk penerangan, bukan? Dan itu rembulan yang kamu kagumi, Bima. Bukan aku, yang hanya sebatang lilin dalam remang," jawabku tanpa menoleh sedikit pun.

"Lihat Bima, rembulan hampir menampakkan diri," ujarku kemudian.

"Indah ya, Kak."

"Ya, kamu suka?"

"Iya, aku suka rembulan."

"Aku harus pergi, Bima. Sekarang," kataku datar.

"Ke mana? Kak Mawar mau ke mana?"

"Bukankah sudah ada rembulan? Kau tidak akan lagi memerlukan sebatang lilin, Bima."

"Tapi, Kak ...."

"Aku tetaplah aku, Bima. Aku tidak akan bisa dan tidak akan mau menjadi orang lain. Aku tidak bisa. Karena aku adalah aku."

"Duduklah, nikmati rembulanmu, sampai jumpa, Bima."

Neilli, Taoyuan
07 Agustus 2015

Kamis, 06 Agustus 2015

Aku Bukan Senja

Aku adalah senja, ketika hadirku dirindukan banyak orang. Ketika lenyapku menyisakan kesedihan bagi dia yang peduli. Aku adalah senja jingga, sendiri menggantung di kaki langit, kesepian dan aku sendirian. Langit mulai gelap, menenggelamkanku dalam keremangan. Aku tenggelam.

Kau hadir bagaikan senja kedua, langit kedua dan malaikat kedua. Kau adalah cahaya dalam gelap, dian dalam remangku. Kau istimema.
Tapi kau tak bisa hadir terlalu lama, di sini bukan hidupmu, di sini bukan duniamu. Kamu adalah bayangan dalam kenyataan. Hadirmu adalah pemancing asa dalam jalanku. Kau terlalu sempurna.

"Aku memberimu nama Langit," bisikku lirih.

"Lalu, kamu adalah Lembayung Senja," jawabnya datar.

"Ya," jawabku.

"Tapi kamu bukan langit sungguhan. Kamu Langit, bukan langit," kataku yang membuatnya mengernyitkan dahi dan melipat tangan.

Aku berdiri, mengikat kembali rambut panjangku.

"Aku harus pergi."

"Ke mana? Lalu aku? Lalu kita?" tanyanya penuh tanda tanya.

"Apa? Kita? Tidak akan ada kita, yang ada hanya aku dan kamu, Langit."

Dia diam.
Aku diam.

Kuraih tangannya.

"Langit, aku bukan Senja. Pergilah, masih ada dan masih banyak senja yang berwarna jingga. Tapi bukan aku."

Aku melangkah pergi, meninggalkan seribu tanya dalam diri Langit. Langit pun mulai gelap, menghitam. Senja pun lenyap, tenggelam bersama tenggelamnya bayanganku di mata Langit.

Neilli, Taiwan
06 Agustus 2015

Sabtu, 25 Juli 2015

Merahku Memudar

Kamu datang terlalu malam. Saat kelopak dan putikku terperangkap dalam gelap. Kamu tak dapat melihatku, mencium aromaku tanpa kekuatan batin yang tulus. Kamu hadir terlalu malam, dan ketika menyentuh rantingku, justru duri-duri tua itu melukaimu.

Aku setangkai mawar dalam rimbunnya semak belukar, terperangkap dalam lebatnya gulma di antara senja yang mulai lenyap. Dengan mata telanjangmu kamu tak mampu melihatku, tak mampu mengenaliku. Merahku mulai memudar, wangiku mulai berbaur dengan aroma tanah yang basah.

Aku mawar merah yang pudar. Menanti uluran tangan bukan untuk memetikku. Bukan untuk memetik rantingku. Tapi? Mencabutku dan akarku, memindahkanku dalam pot-pot kehidupan yang lebih nyaman, dengan pupuk terbaik dan mengantarkan menua, layu dan mati dengan kebaikan.

Taoyuan, 24 Juli 2015

Kamis, 02 Juli 2015

Aku Dan Janji

Jika aku diberi kesempatan untuk berubah wujud? Aku tidak ingin menjadi apa-apa. Yang aku mau adalah mampu membaca pikiran setiap manusia. Kenapa? Karena aku penasaran dengan 'janji.'

Aku, dia, dan mereka menyebutnya janji, kala mulut terbuka dan mengucapkan suatu perkara. Berusaha meyakinkan lawan bicara dan lahirlah apa itu janji. Jika manusia paham janji adalah hutang? Maka aku ingin jadi hakim dan membuka pengadilan atas nama janji, menghakimi para pendusta yang mendustakan janji.

Janji mungkin dianggap remeh, bahkan dianggap 'cuma', tapi, tahukah kamu? Jika wanita paling hobby mengkonsumsi janji. Mulai dari janji hambar, pahit dan janji manis. Semua ditelan mentah-mentah oleh para wanita. Pun lelaki juga ada yang suka menelan janji.

Ini bukan pertanda kami makhluk dungu dan bodoh. Bukan. Menelan sebuah janji adalah cara wanita juga membahagiakan diri, setidaknya wanita punya yang dinamakan 'harapan.' Tapi tidak sedikit lelaki justru malah menghancurkan harapan itu dengan mendustakan janji. Pun dengan wanita yang suka mengobral janji. Kelihatan sepele, tapi dampak dari sebuah janji adalah sakit hati.

Sebelum yakin dan tahu. Sebaiknya ucapkan Insya Allah. Agar para 'pengharap janji' bisa jaga hati dan tahu diri. Jangan pernah bilang 'janji' dan 'pasti' karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi satu detik yang akan datang.

Taoyuan, 02 Juli 2015

Minggu, 19 April 2015

Boneka Gudang

Memang benar, tidak ada kata terlambat untuk minta maaf, tapi kata maaf tidak dapat mengutuhkan kembali gelas kaca yang pecah, sama sekali tidak bisa.

Sekuat apapun kita merekatkan kembali serpihan kaca itu, ia akan berubah bentuk, menganga dan terluka. Hati bukanlah benda yang sanggup kita sentuh, jika terluka kita bawa ke dokter, bukan, hati bukan benda seperti itu.

Cinta tidak hanya untuk memaafkan, tapi tentang harga diri dan kehormatan. Dia yang kau cinta, melukai hatimu dengan sengaja, biarkan dia pergi, lepaskan.

Jangan pernah terima lagi jika suatu hari ia datang kembali, kita tidak belajar benci atau berlatih dendam, tapi kita belajar tentang arti harga diri dan kehormatan. Jangan bodohkan diri sendiri pada cinta yang tak pasti. Yang kita rasa adalah hati, perasaan, bukan pelabuhan atau terminal angkotan.

Memaafkan, tidak berarti bisa bersama. Belajar memaafkan masa lalu, agar langkah ke masa depan terasa ringan.

Aku pernah menjadi bodoh karena cinta, diperlakukan seperti boneka usang yang tergeletak di sebuah gudang, setelah aku membebaskan diri dan berbaur bersama kehidupanku, aku bahagia. Dan aku tidak akan pernah mau menjadi boneka gudang.

Memaafkan itu pasti, tapi sejuta kata maaf tak mampu mengeratkan kembali serpihan gelas kaca yang kau lempar di lantai hati.

Taoyuan, 19 April 2015

Sabtu, 18 April 2015

Belajar Dari Hujan

Hidup tidak mungkin sempurna, secantik apapun, sekaya apapun, bahkan secerdas apapun kamu, tidak akan ada manusia dikatakan sempurna. Ikhlas contohnya. Bisakah kamu ikhlas? Tidak sedikit kita mendengar dan tahu banyak orang mengeluh tentang hidup. Belajar tidak harus pada manusia, ataupun orang yang kita anggap lebih pintar dari kita.

Hujan, kita mampu belajar ikhlas dari hujan, dari tiap tetes-tetesnya, dari kapan ia akan turun dan pada tempat di mana ia akan jatuh. Hujan turun karena Allah menghendaki, hujan turun ke bumi dan jatuh pada tempat yang mungkin tidak ia suka, tapi apa daya mereka? Hujan hanya pasrah pada ketentuan takdirnya.

Demikian pula manusia, Allah tahu kapan kita harus berduka kapan kita harus bersuka ria. Jalani saja hidup dengan ikhlas, apapun yang terjadi, kita pasrah, di manapun, kapanpun kita akan kenapa, semua atas skenario Allah. Laksana hujan, tetap ikhlas menerima di manapun ia jatuh. Dalam sungai, tanah lumpur yang lembut, atau bahkan batu kali yang keras. Kita terima saja, akan ada waktu di mana kita mampu berkumpul bersama. Semua indah pada waktunya. Jika belum indah? Berarti belum waktunya.

Jadi, kita nikmati hidup ini, tak peduli kamu siapa, di mana, dan jabatan apa. Yang dunia tahu, kamu tetap manusia yang tidak sempurna. Menikmati hidup, tiap liku dan lekuk tubuh bumi kita. Rileks dan mari nikmati.

Jangan takut salah, karena dari salah kita berangkat ke yang benar.
Jangan takut kesasar, karena dari kesasar kita temukan jalan baru.
Hidup ini indah, maka nikmatilah.

Taiwan 24 Maret 2015

Minggu, 12 April 2015

Adil Yang Bagaimana

Salah jalan, atau salah kata. Kadang seribu pertanyaan itu menjejak otakku, menuntut jawaban atas sebuah tanya tanpa jawab. Kala lidah terasa kelu, bibir kaku dan suara membisu. Diam.

Tidak ada yang salah dalam perjalanan, tidak ada yang salah dalam kehidupan, baik dan buruk semua adalah skenario. Tidak ada nama kebetulan dalam kamus hidup saya. Karena saya yakin, semua yang terjadi atas kehendakNya.

"Adilkah ini?"

Otak kananku selalu menjawab
"Ya, inilah keadilan."

Otak kiriku memprotes mentah-mentah, menunjukkan rasa tidak suka itu. Karena dia beranggap, ini bukan keadilan.
Hidupku bahagia, setelah aku berusaha memaafkan masa lalu, berdamai dengan masa lalu.

Ada kalanya, kita harus berterimakasih pada masa lalu, tanpa masa lalu, masa depan tidak akan tercipta. Perlahan tapi pasti lupakan, walaupun sakit itu menyayat hati kita. Lalu indahkan hidupmu, hormati diri kita dan lanjutkan hidup. Kecewa dan terluka dalam kehidupan adalah fitrah. Manusia tidak dapat disimpulkan hidup, kalau dia tidak merasakan susah, senang, suka dan duka. Karena itu semua adalah bukti bahwa kita masih hidup.

"Adil yang bagaimana ini? Apakah dengan aku disakiti tiap orang yang aku sayangi? Di situ peran kata 'adil' berfungsi?"

Ini adalah satu pertanyaan yang lahir dari hatiku selama ini, mencekik hebat jiwaku, dan memaksa aku untuk memberikan jawab yang nyata.

Ketika aku disakiti, ketika aku dikhianati, ketika cinta terbalas luka dan ketika setiaku berakhir dusta?
Aku pernah menangis, pernah galau dan pernah juga dua hari dua malam tidak makan karena dikhianati, dengan garis bawah, aku sakit hati. Makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, melanjutkan hidup pun serasa enggan. Tapi semua tidak boleh berlarut lama, aku bukan gadis cengeng, yang harus meraung-raung, mengemis cinta untuk kembali. Tidak. Itu bukan aku.

Berangkat dengan airmata, aku lanjutkan hidup, kuikuti semua organisasi, perkumpulan dan berbaur dengan orang-orang yang berprestasi. Berangkat dengan kecewa, berangkat dengan luka, aku menemukan aku siapa. Aku menemukan arahku ke mana. Dan aku menemui dunia baru. Lambat tapi pasti, luka dan duka terobati, mengering dan sembuh.

Berjuang merangkak menuju lebih baik, melupakan semua masa lalu, buang apa yang tidak penting, karena hidup ini singkat untuk memikirkan ketidak pentingnya sesuatu itu. Bentangkan sayap kebahagiaan, hentakkan kaki dan melangkahlah.....!!

Sambut harimu dengan senyum, apapun yang terjadi hari ini? Inilah kenyataan hidup. Jangan hindari, jangan takuti. Hadapi dan kalahkan. Berjuang untuk kebahagiaan hati dan berjuang mempertahankan arti hidupmu.

Berhenti sesali masa lalu. Diam.
Hidup ini milik kita dan kita berhak bahagia. Masa lalu? Lewat.

Taoyuan, 13 April 2015

Rabu, 08 April 2015

Jeritan Negeri

Aku mendengar sebuah jeritan
Mendengung di antara ribuan pohon dan gunung
Menjejak, melengking dan menggema di penjuru dunia
Suara apa itu?
Jeritan penuh iba

Ya...
Negriku menangis
Bumi ku menjerit menahan pilu yang terkikis
Jeritan iba
Bak sayatan pisau mencium daging segarku
Berduka
Perih dan sakit yang menusuk dalam pori-pori jiwa

Bumiku...
Diamlah sebentar
Mari kita busungkan dada dan berdiri
Melangkah maju dengan badan kekar
Mengejar cita-cita dalam pelukan bumi pertiwi
Jangan lagi menjerit dan meratap pilu
Semoga pemimpin bangsaku mendengar jeritanmu

Taiwan, 07 April 2015

Minggu, 22 Maret 2015

Beku

Terlalu lama aku bersemayam dalam titik jemu sebuah kenangan
Menjejak jiwaku meraba hatiku yang membeku
Laksana lembayung senja yang pasrah dengan keadaan
Diam membisu, memeluk luka serasa mencecap rasa pahit empedu
Sakit perih melumpuhkan akalku

Benci rinduku membumbung di langit biru
Teringat janjimu jika aku adalah wanita terakhirmu
Walaupun kini kau telah berlalu mencungkil sebongkah hatiku
Ku tetap memilih diam dan membisu menikmati sakit yang menyayat kalbu
Kenangan masa lalu yang membelenggu jalan hidupku

Kucoba bangkit walaupun kesakitan
Meraih mimpi dan menyongsong masa depan
Biarkan sakitku mengering oleh sapuan bayu dan nyanyian alam
Biarkan waktu yang menyapu semua masa lalu yang kelam

Taiwan, 18 Maret 2015 (21:00)

Kamis, 05 Maret 2015

Mantra Cinta

Aku memulai dengan senyuman
Sapuan mantra cinta merobohkan sukmaku
Mengalir hebat dalam aroma rindu
Merengkuh jiwa yang kekeringan

Lalu kau hantam hatiku dengan dustamu
Membawa aku terbang melayang
Hingga kau hempaskan ragaku tanpa iba
Merintih aku dalam do'a malam ku
Inikah cinta pertama
Menjadikan aku terikat trauma

Aroma rindu yang kau tanamkan
Kini membusuk dan mati dalam angan
Sebait nada cinta yang kau beri
Membeku tanpa irama dan naluri

Jangan pernah kau kembali
Menanyakan di mana rasaku
Sepercik rindu yang pernah kau gali
Hilang dan mati terbujur kaku

Taoyuan, 07 Maret 2015

Rabu, 04 Maret 2015

Setangkai Rindu

Aku adalah rindu
Setangkai rindu yang kau abaikan
Kering layu disapu sang bayu
Ketika bening mataku ingin secuil harapan
Walaupun semua hanya berwujud rayuan

Rinduku merapuh
Menyisakan lara terguyur airmata
Akal sehatku seakan lumpuh
Terbuai sejuta mantra dalam cinta
Hingga biru menjadi abu tua
Rindu ini terpatri dalam gudang jiwa

Lelah aku menggenggam rindu
Berlumuran darah-darah palsumu
Menggumpal hitam laksana kabut senja menuju malam
Setetes asmara yang dulu membara
Kini berakhir di ujung kata tanpa jeda

Taoyuan, 05 Maret 2015

Sabtu, 28 Februari 2015

Sujud Yang Beda

Dalam butiran bening air mata aku bertahan
Menanti seikat keajaiban
Ya Robbi
Di mana letak salah itu
Do'a ku tanpa jeda, sujud ku tanpa kata

Aku membisu menggenggam cinta tanpa restu
Mencengkeram cinta tapi salah
Salah tempat berlabuh
Tangkai rindu ku mengakar dalam jiwa
Aku merangkak mencari restu, restu Mu ya Robb

Aku tak kan berhenti meminta
Walau sampai airmata ku membeku
Sampai tasbih rinduku menjadi abu
Restu ajaibMu tetap kunanti

Taoyuan, 28 Februari 2015

Sahabat

Kau adalah serpihan bingkai dalam duniaku
Menyimpan sejuta memori bersamamu
Mengubur rindu atas dustamu
Seakan debu tertiup bayu di padang tandu murninya

Kau percikan nila dalam  susu kasturi
Menikam persahabatan yang telah kita rajut
Aku merindukan kebersamaan dulu
Di mana kita bersama melukis di atas kanvas dunia
Bersama mengusap air mata di perut bumi

Kuncup dustamu telah mengakar dalam jiwaku
Menumbuhkan mantra kebencian bersanding air mata
Aku rindu sahabatku ...
Rindu kamu yang dulu
Walau tangis air mata ini menjadi abu
Engkau tetap sahabatku

Meski kau sempat tancapkan duri dalam jiwa
Yang mampu membelah rasa, membuatku merangkak dalam dusta
Rindu ini tetap ada untukmu.

Taoyuan, 28 Februari 2015