Jumat, 28 Agustus 2015

Diam

Jika manusia selalu merasa kesepian saat sedang sendiri? Tolong katakan padaku, apakah keramaian selalu membahagiakanmu?

Aku memang sendiri, menepi di perut bumi. Sendiri dalam keramaian. Merangkak sendiri, berdiam diri penuh kesibukan walaupun kadang sepi itu datang. Aku memang sendiri, tapi aku tidak sendirian. Aku bukan wanita manja yang harus selalu berdampingan dengan orang lain. Aku bukan benalu yang harus hidup menumpang kasih sayang dari orang lain.

Aku terbiasa sendirian. Pun sebelum kau datang. Sebelum dia hadir. Aku tetap aku. Aku memang sendiri, bermain dengan sepi dan sejuta mimpi. Aku memang sendiri, tapi aku jauh dari kata kesepian.
Karena dalam keramaian aku kesepian dan itu selalu menyiksa. Tapi dalam sepi, aku ramai penuh kebahagiaan.

Bahagia bukan soal di mana kamu berada. Tapi tentang bagaimana kamu bersyukur pada apa yang telah ada.
Diam, adalah cara terbaik melindungi diri. Diam adalah jawaban terbaik ketika kau dikejar hal yang tak sepantasnya kamu jelaskan. Diam adalah jalan akhir ketika semua orang menganggapmu sakit jiwa. Dan diam adalah cara kita membalas caci maki orang lain.

Pastikan dalam diam mulut kita, raga kita dan otak kita bergerak.

Taoyuan, 28 Agustus 2015

Selasa, 25 Agustus 2015

Kaca Bukan Cermin

Kutemani kau sekarang, berjalan berdampingan. Kudukung semua jalanmu selama masih dalam kebenaran. Doa dan semangat selalu kubisikkan agar kau jadi lelaki mapan.

Jika hidupmu sudah tentram, nyaman dan mapan. Aku akan pergi meninggalkan. Bukan tanpa alasan. Karena aku yakin cermin dan kaca itu beda jika diartikan. Antara bayangan dan pantulan pun juga berbeda. Kau hidup dalam cermin dan aku dalam kaca. Tapi semua adalah bias, asa dan kandas.

Kini kita adalah butiran bening di atas kaca. Jernih, terang, indah.

Kusimpan rindu dalam tiap butir tasbih cinta. Kukemasi sayang dalam doa malam. Sampai saat itu tiba, kita menganggukkan kepala dan bilang selamat jalan cinta. Tiada dendam dan benci. Karena kita adalah seuntai tali yang telah terpatri. Dan tak akan pernah putus karena rasa kita adalah tulus.

Taoyuan, 26 Agustus 2015

Minggu, 23 Agustus 2015

Senja Telah Pulang

Aku di sini. Tanpamu.
Memilih diam dan memeluk erat potretmu. Ditemani senja yang mulai ditelan petang. Mulai berubah menjadi hitam, kelam dan gelap. Di sini aku tenang, potretmu nampak menyunggingkan senyum penuh keikhlasan. Kau adalah pengganti senja yang kelam. Bercahaya dan membaur menyatu dengan alam. Potretmu adalah simbol alam.

Aku ingin seperti senja, biarpun hadirku hanya sekejab tapi aku dirindukan banyak orang.

"Apakah kau juga rindu?"

Aku tidak perlu jawaban. Tatapan matamu yang teduh cukup menggambarkan. Bukankah segala kejujuran dan kebohongan ada pada pandangan?

"Kata siapa?"

"Kata hati."

Kita adalah alam, belajar menyatukan dua perbedaan. Merangkai nada demi nada hingga kita punya sebuah melody. Yang akan kita dengungkan, untuk alam, untuk dunia. Kita teriakkan pada alam. Pada bumi dan langit, jika perbedaan itu indah. Ibarat sebuah piano dan nada-nadanya. Ia tidak akan berirama jika hanya punya satu nada, dan ia tidak akan dinamakan piano jika cuma warna hitam saja.

Hitam dan putihnya piano adalah gambaran, satuan perbedaan yang menghasilkan irama. Kita adalah melody.

Senja telah pergi, meninggalkan hitamnya mendung yang menggantung di ujung sana. Seperti kamu.

Kulipat kembali potretmu, kubawa dalam tanjakan jalan hidupku, dan terjalnya perjalanan. Kau adalah putih dalam hitamnya pianoku. Kau adalah senja yang selalu kunanti setiap petang datang.

Senja telah pulang.

Taoyuan, 23 Agustus 2015

Kamis, 20 Agustus 2015

Ketika Aku Pergi

Cemas, khawatir adalah fitrah manusia. Wajar, bukan?
Takut. Adalah benang merah yang menarik alur cerita yang telah aku rengkuh. Aku pernah menaruh harapan besar pada manusia, tapi akhirnya kecewa yang kudapati, sakit, perih dan menahan luka.

Aku adalah pohon yang rapuh, berdiri kokoh di antara gemerlap dunia, menopang segala rasa yang mampir menyapa jiwa. Aku tidak sendirian. Ada sejuta asa yang kadang mendekapku erat dari penjuru dunia, aku dan sisi lain.

Harap, asa kadang hanya hadir menyapa jiwa. Mencubit jiwa yang kadang merapuh. Menyentuh harap yang mulai mengepul berubah jadi jelaga. Terbang tinggi diembus bayu dan lenyap.

Aku adalah kunang-kunang malam tanpa cahaya. Gelap, hitam pekat tak tahu arah pulang. Diam dan berteduh di bawah pohon cemara, menunggu pagi, menunggumu datang membawa sepercik cahaya. Jangan bawa aku pulang, jangan bawa aku pergi ketika sayapku belum sembuh, ketika sayapku belum ada cahaya. Aku tak tahu, di mana aku kini.

Malam belum menjemput fajar, malam belum berakhir. Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa menunggumu lama. Aku harus pulang, ke alamku, di tempat di mana dulu kau menemuiku pertama kali. Ya, di lereng sana, di balik gunung penuh hutan belantara, di antara duri-duri alam aku menggantungkan diri, bertahan hidup. Sebelum kau datang.

Aku harus pergi, sayapku terluka, cahaya dalam sayapku tidak bersinar lagi. Aku bukan kunang-kunang. Aku hanya mirip seekor lalat yang terhempas badai. Mengenaskan.

Taoyuan, 21 Agustus 2015

Kamis, 13 Agustus 2015

Langit Tanpa Senja

Senjaku telah hilang, ditelan kegelapan dalam keheningan. Aku sendirian. Dalam gelap, aku merangkak, mencari seberkas sinar harapan. Senja tak lagi datang, tak lagi mendampingiku meniti setitik asa.

Tanpa senja aku gamang. Duduk mendekap lututku di atas pasir putih tempat senja yang dulu menyapa. Senjaku tak seindah dulu. Merahnya memudar, jingganya menghilang. Senja tak kan datang.

"Apa yang kamu tunggu, Linn?" sebuah suara membuyarkan lamunanku.

"Senja."

"Untuk apa? Dia tak akan datang, Linn. Hari ini mendung, sebentar lagi hujan, pulanglah. Senjamu tidak akan datang."

"Tapi aku merindukannya, Bu," jawabku.

"Pulanglah, Nak. Senjamu belum datang, mungkin esok, atau lusa, sabar, senja tahu kapan ia akan datang."

"Iya, Bu."

Aku beranjak pergi.
Meninggalkan langit tanpa senja lagi. Meninggalkan alam yang mulai diselimuti gelap. Aku melangkah dengan jiwa gamang. Aku meniti langkah dengan hati mengambang. Menanti senja tak kunjung tiba. Gerimis pun mulai menyapa, ditemani sapuan sang bayu yang memainkan anak rambutku yang mulai basah. Kupercepat jalanku, tak kupedulikan kerikil kecil yang mencoba menggangguku.

"Pulanglah, Nak," terngiang kembali kata-kata ibu.

"Aku pulang, Bu. Sekarang."

Aku berlari, mengejar waktu. Sesekali terjatuh di tepi jalan. Aku harus pulang. Mungkin hari ini senja tidak datang. Tapi esok? Masih ada sejuta harapan. Menikmati senja bersama seribu asa.

Taoyuan, 13 Agustus 2015

Jumat, 07 Agustus 2015

Aku Dan Aku

Dalam hidup tidak ada yang namanya kesempurnaan. Tidak akan ada manusia benar dalam segala hal. Yang benar adalah berusaha jadi orang dalam jalan kebenaran. Sebaik apapun kita, pembenci itu ada, dan itu pasti. Seburuk apapun kita, orang yang suka tetap ada walaupun cuma satu, dua orang saja.

Aku adalah aku, tetap menjadi diri sendiri. Baik dan buruknya aku hanya Dia yang tahu. Manusia hanya tahu aku, tanpa tahu siapa diriku. Jika semua orang menginginkan menjadi rembulan yang memancarkan sinar ke seluruh pelosok dunia? Maka aku akan tetap ingin menjadi lilin dalam keredupan. Kecil, sederhana tapi tetap mampu menyinari lorong-lorong kecil dalam ruangan tertutup. Aku adalah sebatang lilin dalam keremangan.

Hidup adalah perjalanan menuju keabadian. Ya, perjalanan. Dalam perjalanan tidak mungkin ada yang namanya berjalan mulus tanpa aral melintang. Bukankah kita berjalan pun terkadang tersandung? Pun dalam hidup. Tersandung masalah itu pasti. Asal kita tahu, masalah datang adalah bukti manusia masih bernyawa, dan bukti jika Allah itu peduli. Jika kita enggan tersandung masalah. Mati saja. Itu pun kalau Dia mengijinkan.

"Kak, bahagia itu apa?" Bima bertanya dengan polosnya.

Aku tahu itu jebakan, aku tahu dia lelaki cerdas. Atau mungkin dia ingin tahu cara pandangku memaknai arti bahagia? Entahlah.

"Asal ayah dan ibu bahagia, di sana sumber bahagiaku juga," jawabku dengan senyum.

Bima tersenyum.

Aku memalingkan wajahku, menatap lekat-lekat rembulan yang masih malu-malu menampakkan wujudnya. Rembulan yang indah.

"Kenapa Kak Mawar ingin seperti lilin? Tidak ingin seperti rembulan?"

Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan Bima.

"Rembulan memang indah, Bima. Besar, bersinar, terang dan menakjubkan. Banyak orang bahkan hampir seluruh penduduk bumi pun akan bilang rembulan itu indah, semua orang memuja dan memuji rembulan, kan? Tapi aku tidak ingin. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak ingin dipuja dan dipuji, aku hanya ingin menjadi sebatang lilin yang akan menyinari lorong-lorong kecil di manapun itu. Selokan, belakang pintu rumah, bahkan bawah kolong ranjang, lilin pasti berguna setelah lampu. Tidak mungkin kamu membawa rembulan ke rumahmu untuk penerangan, bukan? Dan itu rembulan yang kamu kagumi, Bima. Bukan aku, yang hanya sebatang lilin dalam remang," jawabku tanpa menoleh sedikit pun.

"Lihat Bima, rembulan hampir menampakkan diri," ujarku kemudian.

"Indah ya, Kak."

"Ya, kamu suka?"

"Iya, aku suka rembulan."

"Aku harus pergi, Bima. Sekarang," kataku datar.

"Ke mana? Kak Mawar mau ke mana?"

"Bukankah sudah ada rembulan? Kau tidak akan lagi memerlukan sebatang lilin, Bima."

"Tapi, Kak ...."

"Aku tetaplah aku, Bima. Aku tidak akan bisa dan tidak akan mau menjadi orang lain. Aku tidak bisa. Karena aku adalah aku."

"Duduklah, nikmati rembulanmu, sampai jumpa, Bima."

Neilli, Taoyuan
07 Agustus 2015

Kamis, 06 Agustus 2015

Aku Bukan Senja

Aku adalah senja, ketika hadirku dirindukan banyak orang. Ketika lenyapku menyisakan kesedihan bagi dia yang peduli. Aku adalah senja jingga, sendiri menggantung di kaki langit, kesepian dan aku sendirian. Langit mulai gelap, menenggelamkanku dalam keremangan. Aku tenggelam.

Kau hadir bagaikan senja kedua, langit kedua dan malaikat kedua. Kau adalah cahaya dalam gelap, dian dalam remangku. Kau istimema.
Tapi kau tak bisa hadir terlalu lama, di sini bukan hidupmu, di sini bukan duniamu. Kamu adalah bayangan dalam kenyataan. Hadirmu adalah pemancing asa dalam jalanku. Kau terlalu sempurna.

"Aku memberimu nama Langit," bisikku lirih.

"Lalu, kamu adalah Lembayung Senja," jawabnya datar.

"Ya," jawabku.

"Tapi kamu bukan langit sungguhan. Kamu Langit, bukan langit," kataku yang membuatnya mengernyitkan dahi dan melipat tangan.

Aku berdiri, mengikat kembali rambut panjangku.

"Aku harus pergi."

"Ke mana? Lalu aku? Lalu kita?" tanyanya penuh tanda tanya.

"Apa? Kita? Tidak akan ada kita, yang ada hanya aku dan kamu, Langit."

Dia diam.
Aku diam.

Kuraih tangannya.

"Langit, aku bukan Senja. Pergilah, masih ada dan masih banyak senja yang berwarna jingga. Tapi bukan aku."

Aku melangkah pergi, meninggalkan seribu tanya dalam diri Langit. Langit pun mulai gelap, menghitam. Senja pun lenyap, tenggelam bersama tenggelamnya bayanganku di mata Langit.

Neilli, Taiwan
06 Agustus 2015