Rabu, 30 September 2015

Ayah

Dulu, ayah selalu mengajariku menikmati secangkir kopi pahit. Walaupun aku menolak, ayah tetap menyuruhku menelan, menikmati.
Padahal ayah tahu, aku suka teh manis hangat buatan ibu.

"Kenapa harus kopi pahit, Yah?"

"Karena ada setetes kenikmatan di sana."

"Nikmat? Nikmat apa? Pahit."

"Karena kamu harus belajar, tidak semua hari ada teh manis milik ibu. Akan ada hari di mana kamu harus merasakan sensasi hebat dari secangkir kopi pahit."

Dulu aku tidak mengerti.
Sekarang aku paham, jika tidak semua hari adalah manis. Akan ada hari di mana aku harus menelan kepahitan. Tapi tidak aku hindari, tidak pula aku tinggalkan.
Karena ayah, mengajariku menikmati setiap tetes rasa pahit itu. Dan kamu? Adalah secangkir kopi pahit, yang tak mungkin aku tinggalkan.

Kini, manisnya teh hangat milik ibu, telah tercampur rata dengan kopi pahit buatan ayah. Mendarah daging dalam tubuhku dan menjadikanku wanita kuat seperti ibu. Ya, kuat.
Ibu selalu bilang, agar aku menjadi wanita hebat.

"Mengalah tidak harus menjadi murahan, Nak. Tapi mengalah demi kebaikan, saat kamu tersakiti? Saat kamu disakiti? Cukup diam dan berdoalah. Semoga sakit itu nanti menjadi berkah."

"Tapi, Bu. Kenapa orang mengalah selalu sakit hati?"

"Karena Allah sayang pada hamba-Nya yang selalu sabar dan mengalah. Pun jika kamu merasa sakit. Nikmatilah, dari sakit yang kamu rasa, kamu akan tumbuh menjadi wanita hebat suatu saat nanti. Bukankah pahitnya kopi telah kau rasakan dari kamu kecil? Sekarang tinggal kamu yang harus menggali rasa sakit itu menjadi bahagia. Ingat kata ibu, tidak ada yang sia-sia di dunia ini."

"Aku akan berusaha, Bu. Doa ibu yang kuminta."

"Dan ingat, tidak ada kata mustahil, selama nafas, jiwa dan ragamu masih menyatu."

Aku menggangguk penuh pasti. Dan akan aku telusuri, aku jalani. Setiap jengkal jalan hidup ini. Entah akan seperti kopi pahit milik ayah atau segelas teh manis hangat milik ibu. Aku siap menelan dari segala rasa itu. Dan itu pun bersamamu ....

Jalan masih panjang, hari masih pagi. Sambutlah mentari itu lewat celah-celah dinding hatimu. Kau, aku dan semua, berhak menikmati. Masa depan milik orang-orang yang punya mimpi. Raihlah, aku di sampingmu berjalan bersamamu.

Taoyuan, 30 September 2015

Kamis, 10 September 2015

Jalan Pulang

Jika aku diijinkan sebentar saja untuk berubah wujud? Aku akan memilih menjadi seekor burung hantu. Ya, burung hantu.
Aku tenang dalam kegelapan, aku damai dalam sepi, sendiri. Hanya deretan buku-buku usang yang memaksaku tersenyum setiap menit, bahkan detik. Tersenyum sendiri. Gila? Ya, hampir.

Aku gila oleh bayangan, gila oleh waktu. Aku lupa waktu senja datang, hingga ketika aku memotretnya, senja beranjak pergi.

"Kamu terlalu malam, Ru. Senja telah berpamitan, pulang," kata ayah dengan nada datar.

"Pulang? Ke mana, Yah?"

"Ke tempat di mana seharusnya pulang."

Aku mengernyitkan dahi.
Kupandang ayah lekat-lekat. Ayah diam, curang. Tidak menjelaskan apa maksudnya.

"Bukankah kamu sering berkhayal, jika senja di sana kau ibaratkan cinta. Nah, tadi ayah bilang, senja pulang, ke tempat di mana dia harus pulang. Pun dengan cinta, Ru, cinta akan pulang di mana tempat dia pulang, karena cinta akan tetap tahu jalan pulang," ucap ayah menjelaskan sambil mengacak anak rambutku dan pergi.

Aku terlambat.
Terlambat memeluk senja. Menikmati dan memotretnya. Apakah aku harus selalu menjadi burung hantu? Agar aku tahu di mana senja kini? Agar aku tahu betapa nikmatnya dunia alam dalam kegelapan.

Tidak.
Aku tetap aku, tidak akan aku menjadi seekor burung.
Biarpun aku harus kehilangan senja? Tak mengapa. Bukankah ayah selalu bilang jika senja akan pulang ke tempat di mana ia akan pulang.

Senja, aku rindu.
Ada rindu di sini, yang menguat dalam doa malam.

Taoyuan, 10 September 2015

Minggu, 06 September 2015

Luka

Senyum, terkadang adalah topeng kehidupan yang nyata. Terkadang hanya polesan jiwa yang berduka. Tetap tegar di atas penderitaan hidup dan tetap anggun menjalani kehidupan.
Senyum, terkadang adalah tipuan mata. Hanya hati yang peka yang mampu meraba sebuah senyuman. Nyata atau rekayasa.

Hati mungkin tidak pernah berbohong, mungkin. Tapi senyum dan tawa adalah cara sebagian manusia mempertahankan diri dari dekapan lara, luka, kecewa, sakit hati dan sejuta rasa. Tidak semua senyum dan tawa adalah gambaran bahagia. Tidak semua tangisan adalah lara. Terkadang dalam senyum ada airmata, dalam tangisan ada bahagia.

Tetap tersenyum apapun yang terjadi. Berteriaklah pada dunia, jika kita adalah wanita tegar dari segala duka yang datang. Tetap tersenyum, walaupun kadang luka datang menyapa, sakit datang menghimpit. Nikmatilah hidup sesuai porsi masing-masing.

Taoyuan, 06 September 2015