Jumat, 07 Agustus 2015

Aku Dan Aku

Dalam hidup tidak ada yang namanya kesempurnaan. Tidak akan ada manusia benar dalam segala hal. Yang benar adalah berusaha jadi orang dalam jalan kebenaran. Sebaik apapun kita, pembenci itu ada, dan itu pasti. Seburuk apapun kita, orang yang suka tetap ada walaupun cuma satu, dua orang saja.

Aku adalah aku, tetap menjadi diri sendiri. Baik dan buruknya aku hanya Dia yang tahu. Manusia hanya tahu aku, tanpa tahu siapa diriku. Jika semua orang menginginkan menjadi rembulan yang memancarkan sinar ke seluruh pelosok dunia? Maka aku akan tetap ingin menjadi lilin dalam keredupan. Kecil, sederhana tapi tetap mampu menyinari lorong-lorong kecil dalam ruangan tertutup. Aku adalah sebatang lilin dalam keremangan.

Hidup adalah perjalanan menuju keabadian. Ya, perjalanan. Dalam perjalanan tidak mungkin ada yang namanya berjalan mulus tanpa aral melintang. Bukankah kita berjalan pun terkadang tersandung? Pun dalam hidup. Tersandung masalah itu pasti. Asal kita tahu, masalah datang adalah bukti manusia masih bernyawa, dan bukti jika Allah itu peduli. Jika kita enggan tersandung masalah. Mati saja. Itu pun kalau Dia mengijinkan.

"Kak, bahagia itu apa?" Bima bertanya dengan polosnya.

Aku tahu itu jebakan, aku tahu dia lelaki cerdas. Atau mungkin dia ingin tahu cara pandangku memaknai arti bahagia? Entahlah.

"Asal ayah dan ibu bahagia, di sana sumber bahagiaku juga," jawabku dengan senyum.

Bima tersenyum.

Aku memalingkan wajahku, menatap lekat-lekat rembulan yang masih malu-malu menampakkan wujudnya. Rembulan yang indah.

"Kenapa Kak Mawar ingin seperti lilin? Tidak ingin seperti rembulan?"

Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan Bima.

"Rembulan memang indah, Bima. Besar, bersinar, terang dan menakjubkan. Banyak orang bahkan hampir seluruh penduduk bumi pun akan bilang rembulan itu indah, semua orang memuja dan memuji rembulan, kan? Tapi aku tidak ingin. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak ingin dipuja dan dipuji, aku hanya ingin menjadi sebatang lilin yang akan menyinari lorong-lorong kecil di manapun itu. Selokan, belakang pintu rumah, bahkan bawah kolong ranjang, lilin pasti berguna setelah lampu. Tidak mungkin kamu membawa rembulan ke rumahmu untuk penerangan, bukan? Dan itu rembulan yang kamu kagumi, Bima. Bukan aku, yang hanya sebatang lilin dalam remang," jawabku tanpa menoleh sedikit pun.

"Lihat Bima, rembulan hampir menampakkan diri," ujarku kemudian.

"Indah ya, Kak."

"Ya, kamu suka?"

"Iya, aku suka rembulan."

"Aku harus pergi, Bima. Sekarang," kataku datar.

"Ke mana? Kak Mawar mau ke mana?"

"Bukankah sudah ada rembulan? Kau tidak akan lagi memerlukan sebatang lilin, Bima."

"Tapi, Kak ...."

"Aku tetaplah aku, Bima. Aku tidak akan bisa dan tidak akan mau menjadi orang lain. Aku tidak bisa. Karena aku adalah aku."

"Duduklah, nikmati rembulanmu, sampai jumpa, Bima."

Neilli, Taoyuan
07 Agustus 2015

2 komentar: