Kamis, 20 Agustus 2015

Ketika Aku Pergi

Cemas, khawatir adalah fitrah manusia. Wajar, bukan?
Takut. Adalah benang merah yang menarik alur cerita yang telah aku rengkuh. Aku pernah menaruh harapan besar pada manusia, tapi akhirnya kecewa yang kudapati, sakit, perih dan menahan luka.

Aku adalah pohon yang rapuh, berdiri kokoh di antara gemerlap dunia, menopang segala rasa yang mampir menyapa jiwa. Aku tidak sendirian. Ada sejuta asa yang kadang mendekapku erat dari penjuru dunia, aku dan sisi lain.

Harap, asa kadang hanya hadir menyapa jiwa. Mencubit jiwa yang kadang merapuh. Menyentuh harap yang mulai mengepul berubah jadi jelaga. Terbang tinggi diembus bayu dan lenyap.

Aku adalah kunang-kunang malam tanpa cahaya. Gelap, hitam pekat tak tahu arah pulang. Diam dan berteduh di bawah pohon cemara, menunggu pagi, menunggumu datang membawa sepercik cahaya. Jangan bawa aku pulang, jangan bawa aku pergi ketika sayapku belum sembuh, ketika sayapku belum ada cahaya. Aku tak tahu, di mana aku kini.

Malam belum menjemput fajar, malam belum berakhir. Tapi aku harus pergi. Aku tak bisa menunggumu lama. Aku harus pulang, ke alamku, di tempat di mana dulu kau menemuiku pertama kali. Ya, di lereng sana, di balik gunung penuh hutan belantara, di antara duri-duri alam aku menggantungkan diri, bertahan hidup. Sebelum kau datang.

Aku harus pergi, sayapku terluka, cahaya dalam sayapku tidak bersinar lagi. Aku bukan kunang-kunang. Aku hanya mirip seekor lalat yang terhempas badai. Mengenaskan.

Taoyuan, 21 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar