Rabu, 27 April 2016

Dimensi Waktu

Aku pernah menjadi senja, saat awan memandangku penuh makna. Dan langit pun terkesima. Aku pun pernah menjadi bintang, saat malam datang aku adalah cahaya. Cahaya dalam gelap yang pekat. Aku pernah kau sebut sebagai rembulan. Dulu.
Kehadirannya ada dalam ketiadaan. Perginya hilang dalam ketidaktahuan. Aku menyebutnya pun senja ....
Senja yang cuma hadir dalam waktu yang singkat. Waktu di mana aku akan berubah menjadi cahaya dalam gelap.

Dimensi waktu yang tak mungkin aku perlambat pun percepat. Jika alam mampu menawarkanku pilihan, aku ingin menjelma menjadi langit. Mampu bertemu senja, dan bintang. Pelita ini tak akan ada arti, selama senja selalu berada dalam dunia bawah mimpi.

Sayap cahaya membentang di antara ribuan bintang. Menembus lapisan kelopak alam di bawah alam mimpi. Senja singgah untuk punah, di antara lapisan langit yang megah. Menjulang di antara mimpi dan nyata dan menjadikanku setitik bintang dalam kebodohan.
Lalu bait ini dinamakan apa?
Kalimat ini berarti apa? Jika ketiadaan selalu menjadi keabadian dan kehadiran selalu diasingkan.
Paragraf hidup mengajariku menghargai kuman yang kasat mata. Apalagi senja yang mampu ada lebih dari enam puluh menit. Sungguh itu berharga, yang mampu menjembatani rinduku pada bintang. Bintang yang terang, yang dulu mampu menjadi dian dalam serambi hati. Kala aku dalam ketiadaan.

Taipei, 20 April 2016