Sabtu, 03 Desember 2016

Dusta Secangkir Kopi

Berdusta demi kejujuran? Hmm  ... lalu di mana letak jujur yang sesungguhnya?
Berbicara tentang kejujuran, tidak ada manusia yang benar-benar jujur. Jujur yang jujur adalah ketika kalian menengadahkan tangan ke langit dan butir-butir air mata itu berjatuhan, dan kalian menyebut asmaNya. Di sanalah jujur terbentuk.

Dalam kehidupan, kalian tidak akan mampu menemukan apa itu jujur dan di mana jujur. Tidak akan.
Bahkan jujur tak akan kalian temukan pada secangkir kopi hitam yang pahit. Ia memang jujur, jika pahit dan dirinya tak mampu dipisahkan. Tetapi apakah kalian tahu? Di sana tidak ada rasa pahit sama sekali. Karena yang ada adalah nikmat. Lalu? Apakah benar jika secangkir kopi pun mampu berdusta?
Layaknya para pendusta di luar sana, mendekati hidup orang lain, hanya untuk bermain-main. Parahnya manusia menggunakan perasaan untuk permainan itu. Lalu? Hilang, membias tanpa bekas. Pengecut, bukan?

Manusia ababil, memang lebih suka bermain. Bermain dengan perasaan yang akan berakhir kekecewaan, permusuhan, dan sakit yang entah dengan kalimat apa mampu aku tuliskan. Coba kalian bandingkan, pahit mana perasaan kalian saat dikecewakan dengan pahit secangkir kopi murni hitam. Jawabnya adalah sama.

Kopi selalu punya sisi untuk berteriak mengatakan dirinya nikmat. Namun pahitnya kehidupan juga punya hak berteriak jika pahit ini akan seperti obat, menyembuhkan dan membawa kebaikan.
Kebaikan?
Kebaikan mana? Entahlah.

Kopi tetaplah kopi, dusta tetap disandangnya selama ia mengandung rasa pahit dalam tiap teguknya.

Taipei, 03 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar