Kamis, 10 September 2015

Jalan Pulang

Jika aku diijinkan sebentar saja untuk berubah wujud? Aku akan memilih menjadi seekor burung hantu. Ya, burung hantu.
Aku tenang dalam kegelapan, aku damai dalam sepi, sendiri. Hanya deretan buku-buku usang yang memaksaku tersenyum setiap menit, bahkan detik. Tersenyum sendiri. Gila? Ya, hampir.

Aku gila oleh bayangan, gila oleh waktu. Aku lupa waktu senja datang, hingga ketika aku memotretnya, senja beranjak pergi.

"Kamu terlalu malam, Ru. Senja telah berpamitan, pulang," kata ayah dengan nada datar.

"Pulang? Ke mana, Yah?"

"Ke tempat di mana seharusnya pulang."

Aku mengernyitkan dahi.
Kupandang ayah lekat-lekat. Ayah diam, curang. Tidak menjelaskan apa maksudnya.

"Bukankah kamu sering berkhayal, jika senja di sana kau ibaratkan cinta. Nah, tadi ayah bilang, senja pulang, ke tempat di mana dia harus pulang. Pun dengan cinta, Ru, cinta akan pulang di mana tempat dia pulang, karena cinta akan tetap tahu jalan pulang," ucap ayah menjelaskan sambil mengacak anak rambutku dan pergi.

Aku terlambat.
Terlambat memeluk senja. Menikmati dan memotretnya. Apakah aku harus selalu menjadi burung hantu? Agar aku tahu di mana senja kini? Agar aku tahu betapa nikmatnya dunia alam dalam kegelapan.

Tidak.
Aku tetap aku, tidak akan aku menjadi seekor burung.
Biarpun aku harus kehilangan senja? Tak mengapa. Bukankah ayah selalu bilang jika senja akan pulang ke tempat di mana ia akan pulang.

Senja, aku rindu.
Ada rindu di sini, yang menguat dalam doa malam.

Taoyuan, 10 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar