Senin, 26 Desember 2016

Jika Hidup Adalah Pilihan

Kalau kamu tidak ditakdirkan untuk memilih?
Mungkin kamu adalah yang terpilih.

Pernah dulu, aku selalu mempercayai jika hidup adalah pilihan. Namun, sejak apa yang aku pilih selalu hilang? Sejak itu pula aku lebih percaya jika hidup cuma untuk dijalani, dan disyukuri. Bukan dipilihi.

Mungkin terkadang aku dan puluhan orang di luar sana bersikap egois. Memilih apa yang dimau, padahal belum tentu itu yang terbaik. Jika kita tidak dilahirkan menjadi pemilih, mungkin kita dijadikan sebagai yang terpilih. Sebaik apa pun pilihan kita, bisa jadi itu yang terburuk untuk kita.

Lalu, bahagia mana antara yang memilih dan terpilih?

Sama rata.

Karena, akan ada masa di mana kita memang tidak digariskan untuk memilih, namun cukup menerima.
Bahagia?
Entahlah, karena jika aku pun boleh memilih, aku tidak mau menjadi yang terpilih, namun menjadi yang memilih. Namun sayang, hidup tak segampang itu. Karena dunia tidak bercerita tentang perasaan dan keinginanku saja.

Berusaha bersyukur.
Cuma itu yang mampu membuat aku kuat. Ketika apa yang kupilih, hilang tanpa alasan.

Taipei, 27 Desember 2016

Sabtu, 03 Desember 2016

Dusta Secangkir Kopi

Berdusta demi kejujuran? Hmm  ... lalu di mana letak jujur yang sesungguhnya?
Berbicara tentang kejujuran, tidak ada manusia yang benar-benar jujur. Jujur yang jujur adalah ketika kalian menengadahkan tangan ke langit dan butir-butir air mata itu berjatuhan, dan kalian menyebut asmaNya. Di sanalah jujur terbentuk.

Dalam kehidupan, kalian tidak akan mampu menemukan apa itu jujur dan di mana jujur. Tidak akan.
Bahkan jujur tak akan kalian temukan pada secangkir kopi hitam yang pahit. Ia memang jujur, jika pahit dan dirinya tak mampu dipisahkan. Tetapi apakah kalian tahu? Di sana tidak ada rasa pahit sama sekali. Karena yang ada adalah nikmat. Lalu? Apakah benar jika secangkir kopi pun mampu berdusta?
Layaknya para pendusta di luar sana, mendekati hidup orang lain, hanya untuk bermain-main. Parahnya manusia menggunakan perasaan untuk permainan itu. Lalu? Hilang, membias tanpa bekas. Pengecut, bukan?

Manusia ababil, memang lebih suka bermain. Bermain dengan perasaan yang akan berakhir kekecewaan, permusuhan, dan sakit yang entah dengan kalimat apa mampu aku tuliskan. Coba kalian bandingkan, pahit mana perasaan kalian saat dikecewakan dengan pahit secangkir kopi murni hitam. Jawabnya adalah sama.

Kopi selalu punya sisi untuk berteriak mengatakan dirinya nikmat. Namun pahitnya kehidupan juga punya hak berteriak jika pahit ini akan seperti obat, menyembuhkan dan membawa kebaikan.
Kebaikan?
Kebaikan mana? Entahlah.

Kopi tetaplah kopi, dusta tetap disandangnya selama ia mengandung rasa pahit dalam tiap teguknya.

Taipei, 03 Desember 2016

Rabu, 23 November 2016

Bapak

"Tentang perjalanan, di mana lagi tidak berjalan. Juga tentang rasa di mana rasa tak dapat lagi kurasa. Yang di mana kini aku menemukan satu titik semu itu. Dan pulang, adalah jalan terakhirku."

Senja kembali berpamitan, menyisakan warna keemasan di kaki langit. Aku dan secangkir kopi ini, menjadi saksi datangnya malam yang pekat. Sepekat ampas kopi pahit dalam cangkir merahku. Sendiri, kunikmati hidup. Bahagia yang aku rasa.
Benarkah? Entahlah.
Kuraih HPku dan kucoba telepon bapak. Bapak selalu punya cerita tentang senja, tentang langit dan bintang. Entah, petang ini bapak akan bercerita tentang apa.

"Tumben, Nak. Kamu terlambat telepon bapak, bukankah senja sudah pergi?"

"Iya, Pak. Sepertinya aku bosan dengan senja. Pak, bisakah bapak ceritakan apapun yang bapak rasa sekarang."

"Apakah kamu mau mendengar, Nak?"

"Pasti."

"Bapak ingin kamu pulang dan ...."

Hening.

Hanya suara napas bapak di balik HPku. Nafas yang mulai berat, mungkin karena nikotin yang meracuni kesehatannya. Entah kenapa malam ini cerita bapak beda.
Pulang?
Ah, entahlah. Sejauh ini aku tidak pernah merasa ada yang peduli dengan pergiku. Sepuluh tahun dua bulan, dua puluh satu hari aku pergi. Aku merasa biasa saja.

"Nak, apakah kamu masih mendengar?"

"Masih, Pak."

"Pulanglah, Nak. Jangan hanya mengejar keperluan duniamu. Kejar juga bekal akhiratmu. Berapa kali kamu tidak merasakan ramadhan, lebaran di rumah? Sepuluh kali, bukan? Mau cari apa lagi? Apakah kamu takut kelaparan di kampungmu sendiri? Apakah kamu takut tidak ada rejeki di negara sendiri? Percayalah, Nak. Di mana ada kehidupan, di sana ada sandang dan pangan. Allah Maha Kaya, Dia tidak akan membiarkan makhluknya makan tanah. Paham?"

"Tapi, Pak ..., aku ...."

"Apa? Tidak betah di rumahmu sendiri? Mau sampai kapan?"

"Pak ..., bapak ..., bukan itu ...."

"L-a-l-u ...," bapak secepat kilat menimpali alasanku.

"Anu, Pak ...."

Dan bapak tidak akan paham. Tentang arti pergiku. Bukan ragu atas kebesaran Dia Yang Maha Satu, sama sekali bukan. Tapi tentang rasa di mana rasa tak dapat lagi terasa. Tentang perjalanan, di mana lagi tidak berjalan. Yang di mana kini aku menemukan satu titik semu itu. Dan pulang, adalah jalan terakhirku.
Mungkin.

Taoyuan, 24 November 2015
________________________

Senin, 06 Juni 2016

AYAH

Jika kalian menawarkan sebuah kemustahilan dan keajaiban. Aku akan meminta agar waktu diputar mundur. Waktu di mana luka di kaki lebih sakit dari pada luka di hati. Waktu di mana aku setiap malam masih tidur di dalam dekapan ayah.

Ayahku sosok lelaki sempurna di mataku. Kegigihannya menafkahi keluarga patut aku banggakan, meskipun pada akhirnya ia letih dengan takdir Illahi, dan aku harus pergi. Ya, aku pergi. Memunguti pundi-pundi dolar di negeri orang.
Ketika ayah bertanya, "bahagikah aku di sini?" Aku akan tetap tertawa renyah di balik telpon genggamku dan berkata dengan lantang, "sangat bahagia" dan ayah pun tertawa terkekeh-kekeh. Andai ayah tahu, jiwaku ingin pulang, memeluk ayah setiap malam, menyeduhkan secangkir kopi pahit setiap pagi. Tapi semua hanya sebatas mimpi.

"Nak, kamu tidak ingin menikah?"

"Menikah? Ehm ... iya, Yah."

"Ditanya kok bilang iya, gimana?"

"Ya, setiap orang pasti ingin menikah, Yah. Tapi, bukankah ayah yang dulu bilang, hidup mati, jodoh dan rejeki itu dari Allah. Kita sebagai umat-Nya hanya mampu berusaha dan berdoa," jawabku.

"Maafkan ayah, ya. Ayah tidak mampu menjadi kepala keluarga yang baik, yang seharusnya mampu menghidupimu sampai ayah lepas tanggung jawab saat pernikahanmu nanti."

"Ayah ini bicara apa? Aku bahagia, sangat bahagia," kataku lirih.

Suaraku terhenti di kerongkongan, sakit.

Jika hati boleh jujur, aku ingin pulang. Ya, pulang. Tapi sayang, jalan kehidupan yang tetap menahanku di sini, di negeri orang. Tapi aku janji pada diri sendiri, apapun keadaanku di sini, adalah pilihan hidupku. Ayah hanya berhak mendengar kabar baik dariku. Selebihnya, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Karena terkadang, kejujuran hati tidak harus dikatakan jika akan menyakitkan. Selama kita mampu memendam rasa itu, disimpan dan diam mungkin lebih baik.

Mungkin, aku adalah satu dari ribuan anak yang sedang merindukan sosok ayah pagi ini. Jika esok matahari mampu kulihat kembali? Aku ingin berteriak pada alam, pada dunia, jika aku bahagia. Agar teriakanku didengar ayah, lewat jeritan alam yang setiap detik waktu berdendang dalam kebisuan.

"Ayah, apapun keadaanku di sini. Bahagiamu adalah impianku."

Hanya kata-kata itu yang mampu membuatku semangat. Aku tahu ayahku kini menua, lapuk dalam ketidakberdayaan. Hanya ibu yang setia di sampingnya. Menyeduhkan kopi dan memberinya singkong rebus setiap pagi.
Dan jika aku adalah bintang, aku akan selalu ada di awan. Bersinar, dan terang apapun yang terjadi. Dan itu alasan ayah memberiku nama Bintang.

Jassy Ae

Taipei, 06 Juni 2016

Rabu, 27 April 2016

Dimensi Waktu

Aku pernah menjadi senja, saat awan memandangku penuh makna. Dan langit pun terkesima. Aku pun pernah menjadi bintang, saat malam datang aku adalah cahaya. Cahaya dalam gelap yang pekat. Aku pernah kau sebut sebagai rembulan. Dulu.
Kehadirannya ada dalam ketiadaan. Perginya hilang dalam ketidaktahuan. Aku menyebutnya pun senja ....
Senja yang cuma hadir dalam waktu yang singkat. Waktu di mana aku akan berubah menjadi cahaya dalam gelap.

Dimensi waktu yang tak mungkin aku perlambat pun percepat. Jika alam mampu menawarkanku pilihan, aku ingin menjelma menjadi langit. Mampu bertemu senja, dan bintang. Pelita ini tak akan ada arti, selama senja selalu berada dalam dunia bawah mimpi.

Sayap cahaya membentang di antara ribuan bintang. Menembus lapisan kelopak alam di bawah alam mimpi. Senja singgah untuk punah, di antara lapisan langit yang megah. Menjulang di antara mimpi dan nyata dan menjadikanku setitik bintang dalam kebodohan.
Lalu bait ini dinamakan apa?
Kalimat ini berarti apa? Jika ketiadaan selalu menjadi keabadian dan kehadiran selalu diasingkan.
Paragraf hidup mengajariku menghargai kuman yang kasat mata. Apalagi senja yang mampu ada lebih dari enam puluh menit. Sungguh itu berharga, yang mampu menjembatani rinduku pada bintang. Bintang yang terang, yang dulu mampu menjadi dian dalam serambi hati. Kala aku dalam ketiadaan.

Taipei, 20 April 2016